Jutaan Fosil Karang Berjejer di Puncak Waru'u

Diposkan oleh Hariru | Wednesday, July 01, 2009 | | 0 Komentar »

Mendengar nama puncak, pasti pikiran Anda akan melayang ke puncak di Bogor. Namun puncak yang satu ini adalah puncak di ketinggian sekitar 180 meter dari permukaan laut, di perantaraan Kelurahan Tongano Barat dan Desa Kahiyanga, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi. Banyak hal yang menarik di sana, di antaranya indahnya panorama alam laksana surga di depan mata, selain itu, pengunjung yang baru datang akan terkesima menyaksikan jutaan fosil karang laut dan kerang (kima raksasa) yang tersebar di ketinggian puncak Waruu.

Tempatnya di atas puncak bukit, ratusan hektar luasnya. Hanya terdapat sejumlah pohon yang dapat dihitung jumlahnya, sisanya berupa padang rumput (sabana), didominasi rumput setinggi mata kaki berdaun halus, kering dan mudah terbakar. Seketika itu, Anda akan mengira sedang berada di lautan rumput, dan laksana ombak sedang berkejaran ketika rumput diterpa angin gunung yang sejuk kendati di bawah terik matahari.

Menurut cerita lisan masyarakat setempat, puncak yang dulu bernama Wa Ruu merupakan daerah pertemuan kedalaman laut dan daerah karang. Di situlah konon deru ombak menghempas membentuk busa panjang dan menghasilkan bunyi yang menurut pendengaran masyarakat ketika itu, kurang lebih bunyinya “ruuu” atau waruu.
Jutaan bunga karang itu kini sudah mati akibat panas matahari selama berjuta tahun lamanya. Selain itu sudah tidak tumbuh di habitatnya, karena air laut surut dan enggan kembali menggenangi wilayah yang kini dijadikan tempat berpiknik itu. Alangkah terkesimanya aku ketika sedang memperhatikan bentuk bunga karang dari satu bunga karang ke bunga karang lainnya. Karena bunga karang seperti itu tidak asing dan hampir setiap hari aku saksikan di laut Tomia, maka jelas aku tahu kalau itu fosil bunga karang.

Fosil bunga karang itu tidak memiliki daya tarik sedikit pun bagi masyarakat setempat, karena bunga karang hidup dan jauh lebih indah dari itu sudah menjadi sarapan pagi dan sore bagi masyarakat Tomia. Namun jika orang baru yang kesana, pasti akan terkesima. Rupanya tempat itu bisa menjadi perpustakaan masa silam yang dapat menggambarkan keadaan bumi secara geografis dan mungkin saja tentang teori pasang surut laut, atau teori pertumbuhan batu karang, atau teori munculnya karag menjadi sebuah pulau.

Untuk mencapai tempat itu, bisa menggunakan angkot atau sepeda motor dengan menaiki tanjakan sekitar 5 kilometer dari Usuku. Dari ketinggian (puncak) pemandangan ibarat haparan padang pasir, hanya fatamorgana yang menghalangi, kosong melompong ke seluruh penjuru mata angin.

Terlihat begitu dekat Pulau Lentea, Tolandono, Sava, dan Binongko. Satu hal yang membuat takjub ciptaan Tuhan di bagian laut ini, hamparan karang atol bersambung hingga ribuan mil jauhnya dan tak putus, terlihat jelas memutih dengan mata telanjang. Karang panjang Kaledupa itu terlihat dangkal dari ketinggian, sangat dangkal, mungkin hanya sebatas mata kaki. Padahal yang sebenarnya mungkin sampai dada orang dewasa.

Lalu-lalang kapal di selat Tomia hampir setiap 20 menit. Bahkan di laut Usuku sedang berlabuh kapal khusus pengantar turis sedang menyelam saksikan karang hidup di tentangan Malabhea. Ketika itu laut sangat jernih karena cuaca sangat teduh dan cerah. Sebentar lagi matahari akan terbenam di balik karang panjang itu, berkas sinarnya menjadi lembut, selembut sinar bulan purnama.

Puncak yang bagi masyarakat Tomia adalah tempat piknik, memiliki daya tarik tersendiri, suguhkan nuansa alam di atas perkampungan padat Usuku. Ratusan kapal sedang berlabuh tampak seakan sedang karam. Lalu-lalang kendaraan terlihat seperti semut beriring. Di malam hari, lampu malam terlihat padat seperti ribuan kunang-kunang sedang terbang.

Konon puncak sangat cocok untuk dijadikan arena lomba layang-layang. Ide ini sepertinya bisa diterima, karena di samping pepohonannya sangat sedikit, angin yang berhembus cukup untuk menerbangkan layang-layang.

Sumber : radarbuton.com



Artikel Terkait:

0 Komentar

Post a Comment