Struktur Pemerintahan dan Kekuasaan Kesultanan Buton

Diposkan oleh Hariru | Friday, June 19, 2009 | | 0 Komentar »


Konsep kesultanan dikenal dalam sejarah sesudah masuknya Islam. Sebutan sultan diadopsi dari negeri-negeri Arab atau Timur Tengah untuk raja yang dikenal sebelumnya. Sultan pertama yang merupakan raja kelima Kesultanan Butun adalah Lakilaponto yang kemudian bergelar Sultan Qaimuddin (artinya peletak Agama).


Pembentukan Kesultanan Buton (Butuni) didasarkan atas nilai tradisi lokal dan ajaran Islam. Pelapisan masyarakat di kesultanan terdiri atas 4 lapis yaitu: kaomu, walaka, papara dan batua. Kaomu adalah golongan yang dianggap keturunan langsung dari Wa Kaa Kaa, raja pertama (perempuan) yang memerintah sebelum Islam. Golongan ini dianggap lebih asli dibanding yang kedua, walaka yang sudah bercampur dengan keturunan mubaligh dari Arab: Abdul Wahab dan Sharif Muhammad. Dari golongan kaomu inilah sultan dipilih. Sedangkan walaka bertugas memelihara undang-undang (sara). Papara adalah rakyat biasa, sedangkan batua adalah orang yang bergantung kepada orang lain apakah sebagai budak atau karena berhutang.


Sarana Wolio yang digali dari Martabat Tujuh berisi sifat kemanusiaan kemudian diperbaharui oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin menjadi Sara Pataanguna (Adat Yang Empat). Keempat sara itu adalah: (1) Sara Wolio sebagai pusat pemerintahan; (2) Sara Hukumu sebagai pusat pelaksana kegiatan dari Hukum Islam (3) Sara Barata sebagai wilayah yang diberi kuasa untuk melaksanakan pemerintah sendiri (otonom), khusus yaitu: (a) Barata Kaledupa (b) Barata Kulisusu; (c) Barata Tiworo; sedangkan otonomi yang seluas-luasnya adalah (d) Barata Wuna (Muna). Struktur pemerintahan dan kekuasaan Kesultanan Butuni itu diproyeksikan ke dalam bentuk perahu barata. Barata dalam bahasa Wolio adalah perahu bercadik ganda dengan empat simpul penguat yang diidentifikasikan pada dua kerajaan di bagian barat: Tiworo dan Muna sedangkan di bagian timur Kulisusu dan Kaledupa (Muchir, 2003: 144-145).

Di muka telah dibentangkan bahwa asal-usul pembentukan masyarakat dan tatanan sosial-politik Butuni dari berbagai unsur mitos: Luwu (Bugis), Islam, Cina dan Ternate. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Butuni adalah sebuah struktur baru. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan semangat yang mengacu pada kesepakatan dan kebersamaan. Prinsip dari nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah kesultanan yang disebut Pbinci-binci kuli. Jika prinsip kesepakatan membentuk nilai persatuan maka kebersamaan membentuk nilai tenggang rasa. Hubungan antara penguasa dan rakyat secara vertikal dan sesama rakyat secara horisontal dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut. Pbinci-binci kuli terurai dalam ungkapan di bawah ini:

Pomae-maeka (Saling menghormati)
Pame-maasiaka (Saling menyayangi)
Popita-piara (Saling menjaga/pelihara)
Poangka-angkataka (Saling mengangkat derajat)

Adapun prinsip yang tertuang dalam falsafah kesultanan dalam arti politik, tertuang sebagai berikut:
Yinda Yindamo Arataa Somanamo Karo (Biarpun harta habis asalkan jiwa raga selamat)
Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (Biarpun jiwa raga hancur asal negara selamat)
Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (Biarpun negara tiada asal pemerintah ada)
Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama (Biarpun pemerintah tiada asal Agama dipertahankan)

Pada masa pemerintahannya, Sultan La Elangi bergelar Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615) memanfaatkan kekuasaannya untuk memposisikan kaomu sebagai golongan yang melahirkan Sultan. Kedekatannya dengan VOC digunakan untuk meminta dukungan Pieter Both, Gubernur Jenderal, agar jabatan sultan sesudah dirinya diberikan secara turun-temurun kepada anak-cucunya (Tiele, 1886: 34, 58). Lebih jauh La Elangi melakukan kesepakatan dengan Sapati La Singa dan Kenepulu La Bula untuk menetapkan tiga cabang dari kaomu. La Elangi membentuk cabang bangsawan: kaomu membentuk cabang Tanailandu, La Singa membentuk cabang keluarga Tapi-Tapi, dan La Bula membentuk cabang keluarga Kumbewaha. Ketiga cabang dari kaomu inilah yang dikenal dengan Kamboru-mboru (lalaki). Talupalena secara harfiah berarti Tiga Tiang Penyangga. Meskipun La Elangi dapat memaksakan penetapan bahwa dari keturunan Tanailandu yang berhak sebagai Sultan, Tapi-Tapi berhak menjadi Sapati, dan Kumbewaha sebagai Kenepulu, dalam kenyataannya tidak terwujud. Sepuluh sultan sesudah La Elangi, ternyata hanya dua orang sultan yang berasal dari Tanailandu, cabang keluarga La Elangi berasal.

Tampaknya justru konsekwensi dari keberadaan Kamboru-mboru Talu Palenal menetapkan bahwa jabatan sultan tidak diwariskan melainkan dipilih. Proses pemilihan sultan dilakukan oleh siolimbona yang berfungsi sebagai Dewan Kesultanan (menteri yang sembilan). Sistem pemilihan ini disebut sebagai demokratis-aristokratis (Yunus, 1995). Yang jelas sistem itu adalah pemilihan terbalas dengan calon yang disiapkan dari golongan kaomu dengan tiga cabang keluarga: Tanailandu, Tapi-Tapi, dan Kumbewaha.

Struktur pemerintahan Butun bersumber pada sifat kemanusiaan Martabat Tujuh, yang tersusun ke dalam kepangkatan dan jabatan pelaksana secara hirarkis dari atas ke bawah. Susunan itu mengacu pada proses kejadian alam: Ketuhanan dan Kehambaan. Susunan itu tampak dalam proses kejadian Alam Ketuhanan dan Alam Kehambaan:
1. Alam Ketuhanan
a. Ahdiah (La-Ta-Yun) = Zat = Sulthan
b. Wahdiah (Ta-Yun-Awal) = Nur Zat = Sapati
c. Wahidia (Ta-Yun-Tsani) = Nur Muhammad = Kenepulu
2. Alam Kehambaan:
a. Alam Arwah = Nuthfah = Kapitalao
b. Alam Mitsal = Alaqah = Bonto Ogena
c. Alam Ijsam = Mudgah = Bonto Siolimbona/Bobato
d. Alam Insan = Jisim insan = Parabela



Artikel Terkait:

0 Komentar

Post a Comment